MENGENANG LELUHUR GENJONG
Diposkan oleh : Admin Senin, 25 Januari 2021 0 comments
MENGENANG LELUHUR GENJONG
Mbah Sari Kromo-Mbah Wajeni:
Mbah Rubi’ah, atau Mbah Bi’ biasa kami
memanggil merupakan anak kedua dari pasangan Mbah Sari Kromo dan Mbah Wajeni. Mbah
Sari Kromo merupakan putra dari pak Prawiro…, yang berasal dari Kepuh Pandak.
Sekitar 200 meter ke arah timur dari rumah kami. Beliau dikaruniai 9 anak,
antara lain mbah Warisah, Rubi’ah, Kasipah, Tuminah, Rokhani, Syakir, Khotimah,
Khotiyah, Siti Khotijah. O, iya semuanya
sudah menghadap ke hadirat Robbi semoga semuanya mendapatkan ampunan dan Rahmat
Allah SWT. Amin YRA.
Selain beliau-beliau, seingat kami ada yang
namanya mbah Nur dan mbah Mah, biasa kami memanggil. Penulis pernah di ajak
beliau saya lupa mbah atau mbah Nur, sewaktu masih kuliah di Malang mampir di
kediaman beliau. Yang penulis ingat rumahnya dekat rel kereta Api di Malang,
tepatnya daerah Mergan Malang. Saya pernah dapat cerita, kalau beliau berdua
adalah anak dari mbah Sari Kromo, yaitu tunggal bapak beda ibu. Penulis mohon
maaf jika salah, dan klarifikasinya sangat penulis harapkan untuk penulis
sejarah silsilah keluarga.
Sebentar ada nama, yang penulis ingat, yaitu
Samadikun (mbah Dikun) yang dulu rumahnya di Pulorejo. Penulis pernah Tanya
sama bapak, bahwa silsilah beliau kemungkinan adalah adik dari mbah WaJeni.
Penulis mohon maaf jika salah. Dan bapak cerita kalau punya tanah di kebun
sebelah timur adalah beli dari Man Dikun, biasa kami memanggil waktu itu.
Beliau punya dua anak lelaki yang bernama mas Alip dan Hamzah. Penulis juga
kurang tahu keberadaannya, karena lama sekali tak bertemu.
Mbah Nasrip-Rubiah
Orang tua mbah Nasrip bernama mbah Hakim dan
mbah Warisan, penulis juga tidak tahu mana yang mbah kakung, dan mana yang mbah
putri. Rumahnya Maron atau sekitar 500 m kea rah utara dari rumah kami Genjing
Lor. Beda dusun, tapi masih dalam satu desa, yaitu desa Sidowarek. Bapak saya
juga tidak berjumpa dengan beliau, Cuma saya waktu kecil menjelang hari raya Idul Fitri sering diajak
bapak ‘weweh” ke Puton ke rumah kakak mbah Nasrip yang biasa kami panggil
dengan sebutan mbah Kawi.
Bapak cerita kalau mbah Srip biasa kami
memanggil beliau, datang ke genjong buruh (ngawulo) ke Mbok Karsi, yaitu Ibu
dari mbok Mariani. Seorang Janda kaya di dusun kami yang sangat disegani,
karena kekayaannya. Oh, iya hubungan keluarga mbah makin dekat, kelak paman
saya yang bernama M. Zaini dinikahkan dengan Roikah, yaitu anak perempuan, yang
merupakan cucu dari Mbok Mariani.
Sebenarnya nama kecil ayah kami, bukanlah
Jawawi, tapi Mat Ngari (Juari). Hal ini diperkuat dengan teman-teman bapak
kalau di Mlaten memanggil, bukannya Jawawai, tapi Mat Ngari.
Sejak muda bapak bekerja sebagai pedagang
Palawija, istilahnya “Ngloper”. Jiwa dagang ini mengalir dari mbah putri kami
Rubiah. Kami masih ingat bahwa Mbah Rubiah setelah subuh berjalan ke pasar
Blimbing jalan kaki, sementara dagangannya diantar oleh anak laki-lakinya.
Sekitar jam 10-an mbah pulang dengan rinjing di punggungnya yang berisi
oleh-oleh dari pasar yang siap dibagikan ke cucu cucu tercintanya termasuk penulis.
Dijamin selalu ada oleh-oleh buat cucu-cucunya walau sekedar jambu sisa-sisa
dagangan.
Dan habis dari pasar, biasanya mbah Bi’,
biasa kami memanggil menyiapkan makanan untuk keluarga. Dan sehabis dhuhur
biasanya keliling mencari dagangan untuk dijual di pasar esok harinya. Mulai
dari pisang, jambu, dan lain sebagainya. Yang jelas sepengetahuan penulis
beliau tidak pilih-pilih barang dagangan, yang penting bisa dijual di pasar
untuk diambil sedikit keuntungan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kelihatannya mbah Bi’ merupakan perempuan
perkasa atau wanita karir, istilah sekarang yang menjadi tulang punggung
ekonomi keluarga. Karna setahu penulis Mbah Nasrip selain mengerjakan sawah
yang tidak begitu luas, beliau tiap harinya mencari rumput (ngaret) untuk kambing-kambingnya.
Kalau soal ngaret, keuletannya (utun) jangan ditanya beliau jagonya. Dan
kayaknya yang mewarisi keutunan beliau adalah bapak Jawawi dan dietuskan
tongkat estafetnya ke adik kami yang mirip Cina Blimbing yang bernama Syamsul
Hadi.
Beda dengan penulis yang dulu kalau ngaret
tangan kiri megang karung (glangseng) di pundak kiri dan aret di tangan kanan
berjalan ngalor ngidul, tapi nggak dapat apa-apa. Akhirnya ketemu sesame
pengaret bermain “kacen”, yaitu lomba melempar aret untuk didekatkan dengan
tongkat yang sudah ditancapkan sebelumnya. Siapa yang aretnya paling dekat
dengan tongkat kayu, berhak mengambil semua rumput (suket) yang dijadikan
taruhan. Ha..ha permaian judi di antara pendekar pencari rumput. Penulis yakin
dulur-dulur yang punya pengalaman ngaret (Curikulum Vitae) pasti tersenyum
mengingatnya.
Bapak merupakan anak pertama dari 6
bersaudara, yaitu Jawawi, Sono (Alm), Asfikah (Alm), Astutik, Sunarti (Alm),
M. Zaini, Sofif, dan Junaidi.
Orang Tua Kami (Jawawi-Sri Suparni)
Telah diceritakan sebelumnya, bahwa selepas tamat MI di
Rembang, Emak sempat kursus menjahit (Modes) di Cik Yok Blimbing. Sewaktu
Kursus inilah emak sering mampir ke rumah Pak Diman, suami Mbok Mi (ayah Mbok
Tiah) terus ketemu Bapak Jawawi dari genjong. O, iya ada cerita menarik bahwa
asal-usul nama genjong, berasal dari kalimat “yo
dijunjung yo di gendong”. Yang menunjukkan masyarakat yang suka bekerja keras
yang mendiami daerah pertanian (agraris) sehingga desanya bernama Sidowarek.
Bapak sempat lamarannya ditolak akibat hitungan Jawa
ketemu 24 dan berasal dari keluarga miskin. Sempat ada laki-laki dari
Banyuarang, yang pada hari bersamaan ingin melamar Emak, yang saat itu
berbarengan dengan Bapak mengantar mas kawin (peningset). Atas desakan pak
Diman dengan alasan membentuk perseduluran, dan menurut perhitungan jawa,
pernikhannya bagus karena “arahe ngidul”, akhirnya dipilihlah Bapak sebagai
menantunya.
Ada cerita menarik seputar pernikahan bapak, bahwa karena
menurut hitungan jawa kurang pas, maka nama bapak yang tadinya mad Juari
diganti Jawawi untuk menyiasati perhitungan jawa agar hasilnya bagus. Ingat lho
rumus ini tidak diajarkan di bangku perkuliahan, tapi merupakan kurikulum wong
Jowo dari Kitab Primbon.
Dari pernikannya, dikaruniai empat orang anak yang
kesemuanya laki-laki, yaitu Mujazin (Imam Mujazin), Syamsul hadi, Suhari (Imam
Bukhori/ Hasan Makruf) dan Ikhwanto. Kami semua sudah menikah dan dikarunia
anak. Tinggal si bungsu yang masih Jomblo, yaitu Mas Ikh, biasa kami manggil.
Doakan ya cepet ketemu pujaan hatinya, agar segera menyusul ketiga kakaknya
untuk berkeluarga. Dan doakan kami semua menjadi keluarga yang sakinah
warahmah. Amin YRA..
Biografi
Keluarga sederhana ini, ditulis hari Rabu, 13 januari 2021, pukul 11.45 WIB.
Semoga kita bisa
“Mikhul Dduhwur Mendem Jero” Jasa-jasa Beliau.
Label: MENGENANG LELUHUR GENJONG
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home