<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6771073194521873950\x26blogName\x3dMenyusuri\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dLIGHT\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://menyusuri.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://menyusuri.blogspot.com/\x26vt\x3d8888761552046595480', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

MENGENANG LELUHUR GENJONG

Diposkan oleh : Admin   Senin, 25 Januari 2021 0 comments

 

MENGENANG LELUHUR GENJONG

 

Mbah Sari Kromo-Mbah Wajeni:

Mbah Rubi’ah, atau Mbah Bi’ biasa kami memanggil merupakan anak kedua dari pasangan Mbah Sari Kromo dan Mbah Wajeni. Mbah Sari Kromo merupakan putra dari pak Prawiro…, yang berasal dari Kepuh Pandak. Sekitar 200 meter ke arah timur dari rumah kami. Beliau dikaruniai 9 anak, antara lain mbah Warisah, Rubi’ah, Kasipah, Tuminah, Rokhani, Syakir, Khotimah,  Khotiyah, Siti Khotijah. O, iya semuanya sudah menghadap ke hadirat Robbi semoga semuanya mendapatkan ampunan dan Rahmat Allah SWT. Amin YRA.

Selain beliau-beliau, seingat kami ada yang namanya mbah Nur dan mbah Mah, biasa kami memanggil. Penulis pernah di ajak beliau saya lupa mbah atau mbah Nur, sewaktu masih kuliah di Malang mampir di kediaman beliau. Yang penulis ingat rumahnya dekat rel kereta Api di Malang, tepatnya daerah Mergan Malang. Saya pernah dapat cerita, kalau beliau berdua adalah anak dari mbah Sari Kromo, yaitu tunggal bapak beda ibu. Penulis mohon maaf jika salah, dan klarifikasinya sangat penulis harapkan untuk penulis sejarah silsilah keluarga.

Sebentar ada nama, yang penulis ingat, yaitu Samadikun (mbah Dikun) yang dulu rumahnya di Pulorejo. Penulis pernah Tanya sama bapak, bahwa silsilah beliau kemungkinan adalah adik dari mbah WaJeni. Penulis mohon maaf jika salah. Dan bapak cerita kalau punya tanah di kebun sebelah timur adalah beli dari Man Dikun, biasa kami memanggil waktu itu. Beliau punya dua anak lelaki yang bernama mas Alip dan Hamzah. Penulis juga kurang tahu keberadaannya, karena lama sekali tak bertemu.

 

Mbah Nasrip-Rubiah

Orang tua mbah Nasrip bernama mbah Hakim dan mbah Warisan, penulis juga tidak tahu mana yang mbah kakung, dan mana yang mbah putri. Rumahnya Maron atau sekitar 500 m kea rah utara dari rumah kami Genjing Lor. Beda dusun, tapi masih dalam satu desa, yaitu desa Sidowarek. Bapak saya juga tidak berjumpa dengan beliau, Cuma saya waktu kecil  menjelang hari raya Idul Fitri sering diajak bapak ‘weweh” ke Puton ke rumah kakak mbah Nasrip yang biasa kami panggil dengan sebutan mbah Kawi.

Bapak cerita kalau mbah Srip biasa kami memanggil beliau, datang ke genjong buruh (ngawulo) ke Mbok Karsi, yaitu Ibu dari mbok Mariani. Seorang Janda kaya di dusun kami yang sangat disegani, karena kekayaannya. Oh, iya hubungan keluarga mbah makin dekat, kelak paman saya yang bernama M. Zaini dinikahkan dengan Roikah, yaitu anak perempuan, yang merupakan cucu dari Mbok Mariani.

Sebenarnya nama kecil ayah kami, bukanlah Jawawi, tapi Mat Ngari (Juari). Hal ini diperkuat dengan teman-teman bapak kalau di Mlaten memanggil, bukannya Jawawai, tapi Mat Ngari.

Sejak muda bapak bekerja sebagai pedagang Palawija, istilahnya “Ngloper”. Jiwa dagang ini mengalir dari mbah putri kami Rubiah. Kami masih ingat bahwa Mbah Rubiah setelah subuh berjalan ke pasar Blimbing jalan kaki, sementara dagangannya diantar oleh anak laki-lakinya. Sekitar jam 10-an mbah pulang dengan rinjing di punggungnya yang berisi oleh-oleh dari pasar yang siap dibagikan ke cucu cucu tercintanya termasuk penulis. Dijamin selalu ada oleh-oleh buat cucu-cucunya walau sekedar jambu sisa-sisa dagangan.

Dan habis dari pasar, biasanya mbah Bi’, biasa kami memanggil menyiapkan makanan untuk keluarga. Dan sehabis dhuhur biasanya keliling mencari dagangan untuk dijual di pasar esok harinya. Mulai dari pisang, jambu, dan lain sebagainya. Yang jelas sepengetahuan penulis beliau tidak pilih-pilih barang dagangan, yang penting bisa dijual di pasar untuk diambil sedikit keuntungan untuk kebutuhan sehari-hari.

Kelihatannya mbah Bi’ merupakan perempuan perkasa atau wanita karir, istilah sekarang yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Karna setahu penulis Mbah Nasrip selain mengerjakan sawah yang tidak begitu luas, beliau tiap harinya mencari rumput (ngaret) untuk kambing-kambingnya. Kalau soal ngaret, keuletannya (utun) jangan ditanya beliau jagonya. Dan kayaknya yang mewarisi keutunan beliau adalah bapak Jawawi dan dietuskan tongkat estafetnya ke adik kami yang mirip Cina Blimbing yang bernama Syamsul Hadi.

Beda dengan penulis yang dulu kalau ngaret tangan kiri megang karung (glangseng) di pundak kiri dan aret di tangan kanan berjalan ngalor ngidul, tapi nggak dapat apa-apa. Akhirnya ketemu sesame pengaret bermain “kacen”, yaitu lomba melempar aret untuk didekatkan dengan tongkat yang sudah ditancapkan sebelumnya. Siapa yang aretnya paling dekat dengan tongkat kayu, berhak mengambil semua rumput (suket) yang dijadikan taruhan. Ha..ha permaian judi di antara pendekar pencari rumput. Penulis yakin dulur-dulur yang punya pengalaman ngaret (Curikulum Vitae) pasti tersenyum mengingatnya.

Bapak merupakan anak pertama dari 6 bersaudara, yaitu Jawawi, Sono (Alm), Asfikah (Alm), Astutik, Sunarti (Alm), M. Zaini, Sofif, dan Junaidi.


 

Orang Tua Kami (Jawawi-Sri Suparni)

 

Telah diceritakan sebelumnya, bahwa selepas tamat MI di Rembang, Emak sempat kursus menjahit (Modes) di Cik Yok Blimbing. Sewaktu Kursus inilah emak sering mampir ke rumah Pak Diman, suami Mbok Mi (ayah Mbok Tiah) terus ketemu Bapak Jawawi dari genjong. O, iya ada cerita menarik bahwa asal-usul nama genjong, berasal dari kalimat “yo dijunjung yo di gendong”. Yang menunjukkan masyarakat yang suka bekerja keras yang mendiami daerah pertanian (agraris) sehingga desanya bernama Sidowarek.

Bapak sempat lamarannya ditolak akibat hitungan Jawa ketemu 24 dan berasal dari keluarga miskin. Sempat ada laki-laki dari Banyuarang, yang pada hari bersamaan ingin melamar Emak, yang saat itu berbarengan dengan Bapak mengantar mas kawin (peningset). Atas desakan pak Diman dengan alasan membentuk perseduluran, dan menurut perhitungan jawa, pernikhannya bagus karena “arahe ngidul”, akhirnya dipilihlah Bapak sebagai menantunya.

Ada cerita menarik seputar pernikahan bapak, bahwa karena menurut hitungan jawa kurang pas, maka nama bapak yang tadinya mad Juari diganti Jawawi untuk menyiasati perhitungan jawa agar hasilnya bagus. Ingat lho rumus ini tidak diajarkan di bangku perkuliahan, tapi merupakan kurikulum wong Jowo dari Kitab Primbon.

Dari pernikannya, dikaruniai empat orang anak yang kesemuanya laki-laki, yaitu Mujazin (Imam Mujazin), Syamsul hadi, Suhari (Imam Bukhori/ Hasan Makruf) dan Ikhwanto. Kami semua sudah menikah dan dikarunia anak. Tinggal si bungsu yang masih Jomblo, yaitu Mas Ikh, biasa kami manggil. Doakan ya cepet ketemu pujaan hatinya, agar segera menyusul ketiga kakaknya untuk berkeluarga. Dan doakan kami semua menjadi keluarga yang sakinah warahmah. Amin YRA..

 

 

Biografi Keluarga sederhana ini, ditulis hari Rabu, 13 januari 2021, pukul 11.45 WIB.

Semoga kita bisa “Mikhul Dduhwur Mendem Jero” Jasa-jasa Beliau.

 

Label:


0 Comments:

Posting Komentar

<< Home