<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6771073194521873950\x26blogName\x3dMenyusuri\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dLIGHT\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://menyusuri.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://menyusuri.blogspot.com/\x26vt\x3d8888761552046595480', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

CATATAN WAK ‘NDEN

Diposkan oleh : Admin   Minggu, 31 Januari 2021 0 comments

 

CATATAN WAK ‘NDEN

 

Keluargaku…

Perkenalkan, nama saya Mujazin. Saya adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Jawawi dan Ibu Sri Suparni. Ketiga saudara saya semuanya laki-laki, mulai dari yang paling serius, Syamsul hadi, yang paling lucu, Suhari dan yang paling jaim, Ikhwanto. Aku dilahirkan di kampung Ibuku, yaitu di Dusun Mlaten, Rejoagung Ngoro Jombang tanggal 18 Pebruari 1977. Dan aku merupakan cucu pertama dari kakek dan nenekku yang bernama Abu Bakar dan Nasiti.

Belum sampai lima tahun, orang tuaku pindah rumah ke Genjong Lor, Sidowarek Ngoro Jombang. 

Di situlah kampung bapakku berasal. Bapakku merupakan anak pertama dari pasangan mbah Nasrip dan Rubiah. Oh, iya ada cerita menarik bahwa asal-usul nama genjong, berasal dari kalimat “yo dijunjung yo di gendong”. Daerah yang menunjukkan masyarakatnya yang suka bekerja keras yang mendiami daerah pertanian (agraris), sehingga desanya bernama Sidowarek.

Bapakku adalah pekerja keras. Waktu aku masih balita bapak bekerja sebagai pedagang palawija keliling, yang biasa disebut “Loper”. Yaitu pedagang yang berkeliling dengan sepeda onthelnya untuk membeli hasil palawija dari petani setempat, seperti gabah (padi), jagung, dan lain sebagainya kemudian di jual ke Cina (Cik Yok) di daerah Blimbing dengan mengambil sedikit keuntungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Selain itu, bapak juga bertani dengan menanam palawija dan juga beternak sapi. Bahkan bisa dikatakan selama menguliahkan keempat anaknya di Universitas Negeri Malang, profesi sebagai peternak sapi adalah profesi yang masih melekat pada bapak selain bertani, sedangkan sebagai loper sudah lama ditinggalkan.

Sekolahku…

Pendidikan formalku berawal di RA Al Hikmah, Genjong Lor, sekitar tahun 1982. Masih teringat dalam benakku, aku paling suka memakai seragam biru putih kebanggaanku, padahal seharusnya memakai seragam hijau putih, tetap saja seragam biru putih kupakai. Pernah aku nggak punya ikat pinggang (sabuk), sambil tergesa-gesa persiapan ke sawah, bapakku menghampiriku untuk memakaikan aku sabuk dari tali raffia (rumput Jepang), agar celana biru kesukaanku tidak mlorot oleh. He..he, bisa dibayangkan betapa memprihatinkannya keadaan ekonomi kami waktu itu. Tapi jangan ditanya soal semangat dalam mencari ilmu, pokoknya tidak ada kata malas.

 

Masih ingat makanan favorit di waktu pagi (sarapan) adalah nasi dikasih kecap (iwak kecap kataku saat itu). Wes pokoknya sarapan hukumnya adalah wajib (fardlu ain). Selain agar perutnya tidak kosong juga mengurangi uang saku, he..he.

 

Kemudian aku sekolah di SDN Sidowarek I, yang letaknya 200 meter ke arah selatan rumah kami. Teman-temanku berangkat pulang antara lain Muji Prayitno (Muji), Abdul Sujak (Sujak), Abdul Mujib (Mujib), dan masih banyak yang lain. Sarapan favorit sudah tidak lagi nasi kecap, tapi berubah nasi intip yang ditaburi dengan sedikit garam dan parutan kelapa. Nasi kerawu kami menyebutnya. Kadang jika waktunya mepet nasinya dipres bulat seperti granat dan dimakan sambil jalan ke sekolah. Terbayang beberapa butir nasi nempel dipipi alias cepres. Malu sedikit, tapi kayaknya rasa malu jauh dari benak kami, yang penting berangkat sekolah dan sekolah, kata orang tua kami. 

Tak jarang selain buku dan pencil, di tas kami juga sering diisi mak saya beberapa potong ketela rambat (telo) atau singkong (ketela kaspe) dimasukkan dalam kantong plastic. Wes pokoknya kalau urusan makanan, jalan terus dan rasa malu lenyap dari benak kami. Kayak lagu dangdut yang viral itu lho, seng penting wareg, o… salah seng penting jogged kata Suimah.

Soal hobby olah raga, pasti jawabannya adalah sepak bola (bal-balan). Karena badanku besar dan gendut dan ditopang tulangku yang ukurannya jumbo, posisiku dalam tim sepak bola adalah pemain belakang, alias bek kanan. Wes pokoknya kalau ada bola di bawa pemain lawan mendekati kotak gawang, pasti tanpa rasa takut dan gentar saya tebas, bass. Dan tak jarang kaki terasa pincang dan bengkak (mbendol) akibatnya. Tapi namanya olahraga favorit, tidak ada istilah takut, apalagi kapok.

Teman-temanku biasa manggil aku “Benden”, orang tuaku pun tak jarang memanggil namakku “wak Nden”. Jujur saja aku tak nyaman dipanggil dengan sebutan itu. Dari mana asal kata itu, apalagi artinya. Dah yang namanya dunia anak-anak, senang nggak senang hampir semua temanku, khususnya yang sebaya dan yang umurnya di atasku memanggil nama itu. 

Hampir tiap hari, saat jam istirahat pergantian jam pelajaran, bisa dipastikan aku bersama temantemanku main bola di lapangan yang luas. Sambil menyeka keringat yang ada di dahi dan punggung banjir akan keringat, aku dan teman-teman ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Jangan dibayangkan rupa wajah dan bau badan pasca sepak bola. Dijamin Rexona lewat, he..he.

Di SD, aku tergolong siswa yang tidak terlalu berprestasi, alias standar-standar saja. Hal ini dibuktikan dalam buku raportku ada beberapa nilai yang tertulis menggunakan tinta merah. Ada beberapa temanku yang selalu menduduki rangking atas. Yang laki-laki ada nama Sujak, Mujib, sedangkan yang perempuan ada nama Bhimawati Ciput Diarini alias Ciput dan Yuliatin si Yuli, yang langganan juara kelas. 

Sering aku kena hukum, karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan gagal menjawab pertanyaan guru (kuis). Aku dihukum berdiri di depan kelas (dipares atau distrap, istilah zaman dahulu). Dan yang paling memalukan adalah, ketika pulang sekolah ada sebagian temanku lapor pada orang tuaku, bahwa si Jazin tadi dihukum berdiri di kelas, karena tidak bisa ngerjakan soal. Terbayang betapa malunya diriku, ha..ha.

 

Tertulis dalam ijazahku, aku lulus tanggal 15  Juni 1989, berarti aku masuk SD pada tahun pertengahan tahun 1983. Selanjutnya aku mendaftarkan diri ke sekolah favorit  SMPN I Ngoro Jombang, yang berdampingan dengan Pasar Ngoro. Berhubung Nilai Ebta Murni (NEM) saya rendah, seingatku kurang dari 21 (berarti rata-rata kurang dari 7), maka otomatis tidak bisa masuk SMP favorit itu. Inilah pengalaman kegagalan pertama dalam pendidikan formalku. Rasanya sakit dan malu, tatkala ditanya orang tua: “ditompo tah nggak Zin, ndok SMP Ngoro?, sambil malu dan takut aku jawab “mboten pak”. Yo wes kata mereka.

Selanjutnya aku mendaftarkan diri di SMPN 2 Ngoro, yang letaknya di desa Jombok dan berbatasan dengan kabupaten Kediri dan alkhamdulilah diterima, walaupun menjadi sekolah alternative pasca kegagalan mendaftar di SMP favorit. Di kelas F, kami ditempatkan, yaitu kelas yang berisi kumpulan anak-anak yang kurang begitu menonjol dalam hal akademik. Sedangkan teman-temanku yang pandai saat di SD, seperti Sujak, Yuli, dll ditempatkan di kelas A dan B, yang merupakan kelas unggulan. 

Di sinilah kami merasakan tidak enaknya dipandang sebelah mata sebagai anak-anak yang kurang pandai. Dan sejak saat itu kami berusaha untuk serajin mungkin untuk belajar memperbaiki prestasi akademik kami. Alkhamdulilah, di kelas ini walaupun tidak menjadi yang terbaik, kami sering menduduki peringkat 5 besar. 

Selama di SMP ini kami naik sepeda onthel BMX bersama teman-teman. Kadangkala juga naik Colt, sebagai transportasi umum saat itu, tapi itupun hanya bisa dihitung jari. Tiga tahun belajar di SMPN 2 Ngoro, tepatnya tanggal 05 Juni 1992 kami mendapatkan ijazah.

 

Selanjutnya saya mendaftarkan diri ke SMAN I Ngoro Jombang, yang letaknya sebelah barat SMPN I Ngoro sekitar 200 meter. Bersama dengan teman-teman kami mendaftar dengan harapan untuk diterima. Sampai datanglah waktu pengumuman dengan dikeluarkannya papan tulis yang di tempeli nama-nama yang diterima di SMAN I Ngoro. Ku datangi dan kupelototi satu persatu tiap nama yang tertulis, namun tak kunjung ketemu nama saya. Yang pada akhirnya sambil kecewa, marah dan malu, diputuskan bahwa saya termasuk dari sekian nama siswa yang GAGAL diterima di SMA tersebut.

Gagal maning, gagal maning, itulah istilah zaman NOW untuk melukiskan kegagalan yang datang bertubi-tubi. Dan rasanya makin terasa, manakala pulang ke rumah ditanya orang tua, piye, diterimo, tah nggak?. Ku jawab sambil tertunduk malu, bahwa saya tidak diterima mendaftar di SMAN I Ngoro. 

Saat itu wacana yang beredar di masyarakat, bahwa sekolah yang berprestasi dan murah biayanya adalah sekolah yang statusnya Negeri, sedangkan kalau swasta itu adalah sekolah alternative alias “terpaksa” yang digambarkan kurang bermutu dan mahal biayanya. Sehingga di tengah kondisi yang

“memprihatinkan” antara sekolah atau tidak, ada teman kampung yang sudah sekolah di STM PGRI Jombang, yang bernama Abdul Azis yang datang ke rumah bercerita keunggulan SMA PGRI I Jombang dan dia siap mengantar mendaftarkan ke SMA tersebut. Di sisa-sisa idealisme akan pentingnya pendidikan, saya mendaftarkan diri  di SMA tersebut dan alkhamdulilah, diterima. 

Di kelas I.3 tepatnya, saya di tempatkan bersama teman-teman sekitar 35 anak, yang semuanya asing, karena berasal dari daerah sekitar kabupaten Jombang. Waktu itu SMA PGRI I Jombang di kenal sebagai sekolah swastanya SMAN2 Jombang. Sekolah favorit yang ada di kabupaten Jombang, karena separuh lebih, gurunya berasal dari SMA tersebut. Kami sekolah di siang hari, mulai jam 01.00 siang sampai jam 16.00 sore dan berada di SMAN 2 Jombang Jln Wahidin SH. Sedangkan waktu kelas 2 dan 3 masuk pagi hari dan pindah ke selatan, tepatnya di Jln. Patimura Gang IV, sebelah timur STKIP Jombang.

Selama sekolah di SMA ini, alkhamdulilah sering rangking 1 dan pernah turun ranking 2. Sehingga nama saya sering disebut sebagai siswa berprestasi dengan mendapatkan penghargaan bebas dari kewajiban membayar SPP. Dan semenjak kelas 2 sampai kelas 3 mendapatkan uang beasiswa dari Kemendikbud Kabupaten Jombang. 

 

Pada tanggal 24 Mei 1995, saya mendapatkan ijazah dan sertifikat penghargaan atas keberhasilan belajar di SMA ini. Ada sosok kepala sekolah yang bernama bapak Eddi Sihono, yang menyuruh bapak saya agar si Mujazin ini harus kuliah, bagaimanapun keadaannya. Alhamdulilah atas dorongan dan bujuk rayu beliau, hati bapak saya luluh dan menyuruh saya untuk kuliah.

Sebelum lulus dari SMA PGRI I Jombang, pasca Ujian Nasional sekitar bulan april 1995, saya pernah mendaftarkan diri jadi TNI, melalui seleksi Nasional AKABRI. Berbekal prestasi akademik, serangkaian tes di KODIM kabupaten Jombang terlewati. Mulai dari tes administrasi, tes tinggi dan berat badan. Selanjutnya saya harus mengikuti tes di Ajenrem Kodya Mojokerto sebelum tes terakhir di Magelang Jawa Tengah. Di barak Militer AD di Mojokerto inilah, saya gagal di tes Morfologi, yaitu adanya varises halus di kaki saya. Kurang lebih 3 hari di barak militer, sayapun pulang ke rumah dengan kegagalan. Dan inilah pengalaman kegagalan cita-cita pertama saya.

Setelah gagal menjadi TNI, saya naik bus ke Surabaya di antar teman sekaligus kerabat saya yang bernama slamet Arifin atau yang biasa dipanggil Gajah, untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Analisis Medis di bidang kesehatan di UNAIR Surabaya. Di sini ada cerita yang menarik, karena saya memakai kaos oblong warna merah dan celana Levis. Sesuai dengan peraturan kampus, bahwa yang boleh masuk kantor harus bersepatu dan memakai pakaian yang berkrah. Terpaksa saya ke toilet untuk tukar baju dengan si Gajah yang kebetulan pakai hem agar bisa masuk kantor Unair untuk mendaftarkan diri. 

Hah, pengalaman pertama pergi ke Surabaya yang berkesan sekaligus memalukan alias ngisinngisini, he..he. Setelah dari Unair dalam perjalanan pulang transit dulu ke terminal mini Bratang, menjelang magrib. Di sana membeli nasi bungkus dan memakan dengan lahap, tanpa peduli kiri-kanan, untuk mengganjal perut yang sejak siang belum terisi makanan. Selanjutnya pasca magrib ke terminal Bungurasih untuk mencari bus Jurusan ke rumah, dan nyampek rumah sekitar jam 10 malam. Terima kasih Cak met, atas jasamu mengantar ke Surabaya yang menjadikan pengalaman dan cerita yang tak pernah terlupakan.

Sambil menunggu pengumuman di UNAIR, saya juga ikut Ujian Masuk perguruan Tinggi Negeri

(UMPTN) di IKIP Negeri Malang saat itu sebelum namanya berubah menjadi Universitas Negeri Malang (UM), dengan mengambil jurusan Pendidikan Guru Kimia sebagai pilihan satu dan pendidikan Guru Fisika jurusan keduanya. 

Di akhir bulan Mei saya ke Surabaya lagi, tepatnya daerah Karang Menjangan sekitar RS DR Sutomo Surabaya untuk tes UMPTN. Di Surabaya kami numpang menginap di saudara teman kampung saya, Srianah namanya. Sekitar tiga hari, sebelum pelaksanaan ujian di Universitas Hang Tuah Surabaya, saya cari tempat kos di kampung tersebut. Di sana saya punya pengalaman menarik, yaitu tidak tahu arah mata angin, sehingga pernah dua kali sholat tidak menghadap ke kiblat (barat), malah menghadap ke timur. Untung Allah maha pemaaf, pengampun serta pengertian, ha..ha. Insya Allah mau menerima sholat saya, walaupun salah kiblatnya.

Di awal bulan agustus, di pagi buta pasca sholat subuh, saya beli koran Jawa Pos. Karena di hari itu ada pengumuman nama-nama yang lolos UMPTN. Dan alkhamdulilah saya diterima di jurusan pendidikan Kimia IKIP Negeri Malang. Padahal profesi guru, sebelumnya adalah profesi dan cita-cita yang saya hindari, e malah dia yang menerima diri saya ini. Inilah rahasia takdir Ilahi. Jurusan yang dibenci malah yang menerima dan menjadikan saya dikenal sampai saat ini. 

 

Empat tahun setengah kami lewati, dengan berbagai cerita suka dan duka, tepatnya tanggal 21 Februari tahun 2000, kami mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Kimia sekaligus lulusan pertama dari transformasi IKIP NEGERI MALANG menjadi Universitas Negeri Malang.

Setelah mengabdi menjadi guru tidak tetap (Honorer) selama lima tahun di berbagai sekolah seperti, MAN Genukwatu Ngoro, SMA PGRI I Jombang, MA Darussalam Ngesong, MAN 4 Denanyar Jombang dan di SMA  2 Unggulan BPPT Jombang di Rejoso Peterongan. Alkhamdulilah di bulan April 2005, saya diterima sebagai PNS dan ditempatkan di MAS Unggulan Rejoso Peterongan Jombang sampai sekarang. 

Begitu ada pengumuman diterima sebagai PNS di Kantor Kemenag Jombang, saya mendaftarkan diri sebagai Mahasiswa S-2 program Pasca Sarjana konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam di UNIPDU Jombang dan lulus di bulan September tahun 2007.

 

 

Ini sedikit cerita riwayat hidup saya, mudah mudahan dapat sebagai pelecut dan memotivasi anak anak saya. Teriring doa semoga generasi kami selanjutnya harus lebih sukses, berhasil, tidak saja urusan dunia, tapi juga akherat. Amin, amin YRA.

 

Perkenalan dengan Dunia Pondok Pesantren

Di penghujung tahun 1999, tepatnya bulan September sambil menunggu pelaksanaan wisuda di bulan April 2000, timbul kegalauan pasca menempuh studi S-1. Bahwa menjadi suatu keharusan seorang laki-laki harus beraktifitas alias bekerja sebagai pembuktian eksistensi diri. Karena studi saya jurusan keguruan, otomatis yang ada di benak saya mencari pekerjaan yang tak jauh dari dunia pendidikan. Di Malang, untuk menambah jatah uang makan, saya di sore hari memberikan pelajaran tambahan (les) ke anak SMA. Biasanya dalam seminggu 2-3 kali pertemuan. Maklum Malang selain sebagai kota wisata, juga kota pendidikan, sehingga keasadaran orang tua akan pentingnya kualitas pendidikan sangat diperhatikan. Sehingga tak sedikit orang tua siswa yang sibuk mencari guru les privat buat buah hatinya. Kadang ke kampus, atau lembaga-lembaga bimbingan belajar. Hasilnya sih tak seberapa, tapi paling tidak selain menambah uang saku untuk biaya hidup, juga untuk memantapkan materi kimia yang sudah diterima di bangku kuliah.

Waktu itu, ada info lowongan lembaga Bimbingan belajar (Bimbel) phi Beta di Malang mencari tenaga pengajar kimia (tentor). Aku mengatakan dalam hatiku, bahwa “jika aku nanti mendaftar menjadi tentor Phi Beta dan di terima, berarti aku tidak akan pulang ke Jombang dan akan menetap sebagai orang Malang. Namun sebaliknya jika aku gagal diterima, berarti senang atau tidak, aku akan kembali pulang ke rumah mendaftar menjadi guru di Jombang”.

Akhirnya aku daftar dan langsung di tes kemampuanku dalam menyampaikan materi pembelajaran (micro teaching). Waktu itu ada pendaftar lain alumni dari universitas Brawijaya Malang. Menurut subyektifitasku, kalau melihat kemampuan para pesaingku, aku pasti diterima jadi mentor, gumamku. Setelah ditunggu sekitar seminggu datanglah pengumuman, bahwa saya tidak lolos dalam perekutan tentor kimia.

 Saya sebenarya tidak percaya dan agak kesal dalam hati, tapi mengingat janji saya kemarin. Langsung saya kemasi semua barang-barang dan mempersiapkan hal yang berkaitan dengan administrasi kuliah, mulai dari kartu hasil studi (KHS) mulai semester awal sampai masa akhir perkuliahan (Yudisium). Maka aku membuat daftar kartu hasil studi akhir, yang nantinya aku gunakan mendaftar di sekolah-sekolah di Jombang, bersama dengan surat keterangan lulus dari UM.

Dengan tekad dan keberanian, aku menggunakan filosofis memancing, “umpan kupasang dalam kail, dan kusebarkan, sambil kutunggu ikan mana yang memakannya”. Ternyata dengan mudahnya aku langsung diterima di tiga sekolah. Yang pertama di MAN Genukwatu Ngoro, disusul di SMA PGRI I Jombang, yang kebetulan saya alumni sana dan tidak lama ada tawaran lagi ngajar di MAN Denanayar Jombang. Alkhamdulilah dalam seminggu aku mengajar di tiga sekolahan tersebut. 

Di sela-sela aktifitas tersebut, aku ingat pernah berdoa, yang kurang lebih intinya seperti ini,  “ Ya Allah tempatkan aku di tempat yang islami, orang-orangnya islam dan pemikirannya Islam”. Ternyata doa ini diijabahi Allah, berkat doa orang-orang tercinta khususnya orang tua. Walaupun saya dan keluarga tidak memiliki latar belakang (back ground) Pondok dan bergaul dengan dunia pesantren, nyatanya dimudahkan untuk memasuki dunia Pondok Pesantren. 

Selama menjadi guru honorer, aku bermukim di kamar Pembina dan ustad Asrama Sunan Ampel Putra. Di sini saya berkenalan dan mempelajari dunia santri beserta lika likunya. Di sana saya ketemu sosok Hafidzul Quran alumni PP Mojogeneng Mojokerto Ust. Suud Amin. Belajar kaidah penulisan arab (khot) bersama ust Sumarsono yang berasal dari Ngawi. Ust Mashur yang terkenal dengan konsep kesederhanaannya.  Ust Yunin, Ust Nasrullah dari Krian Sidoarjo, dan lainnya yang kesemuannya jebolan Universitas Al azhar Kairo Mesir.

Di sana saya dihormati dan diperlakukan dengan baik, sehingga saya membantu putra kyai haji Imam Haromain mengajari kimia kepada putranya yang sekolah di luar, tepatnya SMAN 2 Jombang bernama Mas Hafidz. Di sana saya juga sering dajar tukar pikiran, ide, gagasan oleh pengasuh Asrama Sunan Ampel putri KH. Wazier Ali Lc. Dan saya juga di beri amanah beliau untuk memberikan pelajaran tambahan di malam hari untuk mengajar kimia anak-anak sunan ampel putri. Dah pokoknya sekitar 2 tahunan saya di sana, kenangan manis penuh dengan kehangatan dan pelajaran masih sangat kuat melekat di pikiran. Terima kasih PP Mambaul Ma’arif, khususunya asrama sunan ampel, engkau sangat meewarnai hidupku

 

Menuju Bahtera Rumah Tangga

Angka 3 bagi saya adalah angka keramat. Pernah saya mengucapkan tekad yang kuat bahwa setelah tiga tahun menjadi guru honorer, aku harus menikah. Pokoknya harus menikah, nggak tahu dengan siapa. Kebetulan waktu itu belum ada calon yang pasti. Dan tepat di tahun ketiga pengabdian saya di PP MAN denanyar, tepatnya di akhir catur wulan (Cawu) dua, mataku tertarik dengan sosok muridku kelas XII IPA 3, yang duduknya selalu didepan kelas. Zenni Retnowati namanya. Dia adalah anak kampung yang tidak mondok. Tiap hari pulang pergi madrasah dan rumah sehabis sekolah. 

 

Gadis kelahiran 05 Maret 1984, ini anaknya cantik, murah senyum, dan sopan. Dia suka sekali dengan pelajaran agama, khususnya qur’an hadits, akhlak dll. Sebenarnya kemampuan akademisnya jauh dari standar kelasnya. Namun perhatian dan semangatnya untuk menuntut ilmu membuat hatiku tertarik untuk mendekati dan mengenalnya lebih dalam. Hatiku berkata, kalau soal akademis, aku sudah punya pada diriku, tapi soal kedamaian hati dan urusan akhlak, kayaknya dia bisa menyempurnakan hidupku, gumamku. Ha….ha, teringat lagunya Ariel Noah, “separuh diriku ada padanya”.

 Yang paling kuingat di awal pertemuan dengan dia adalah perkataan yang ia lontarkan kepadaku saat dikantor guru putri yang berada di dekat dengan makam KH Bisri Syansuri. Saat dia ke kantor bersama temannya, yaitu Luluk atau Anis aku lupa, membawa tumpukan LKS untuk dikumpulkan di meja guru. Sambil bercanda dengan temannya ia berkata : “Pak dengan saya saja (Zenni), nanti hidupnya bisa ngirit alias cepat kaya, karena saya tidak makan daging”. Mendengar perkataan yang polosnya, jujur mengaggetkan saya dan membuat saya mulai jatuh hati. Dalam hati saya, kok ada makhluk seperti ini ya. Gumam saya dalam hati. Oke, yes..poin, masuk..masuk aku berkata dalam hati terasa tubuh ini sudah hilang dari tarikan gravitasi bumi.

Sejak itulah aku diam-diam mulai jatuh hati kepadanya, dan aku berusaha sebisa mungkin menutupi rasa ini di depan murid-muridku yang lain. Harap Maklum, aku kan guru professional, he..he.  Namun sepandai-pandai aku menutupinya, yang jelas aku tak kuasa untuk menyuruhnya menjawab soal-soal kimia, apalagi menyuruhnya mengerjakan soal kimia di depan kelas. Yang pasti tak tegaaaaa. Karena, kalau dia tak bisa mengerjakan soal kimia di depan kelas, aku juga yang merasakan malunya. Mungkin inilah perasaan yang namanya cinta. Sampai sampai beberapa anak yang protes, mengapa zenni tidak pernah disuruh maju kedepan untuk mengerjakan soal kimia. Akupun berusaha menyembunyikan rasa ini dan bersembunyi dibalik basa-basi argumentasiku, agar aku bijaksana dan tidak terkesan pilih kasih di depan murud-muridku yang lain.

 

Pendekatan ke Calon Mertua

Setelah aku mantap, aku sering menelpon ke dia, dan sebaliknya dia juga tak jarang menelpon diriku, melalui nomer telpon asrama sunan ampel putra. Akhirnya setelah ada chemistry di antara kami saat di pertengahan CAWU 3. Aku sudah tidak mau basa-basi lagi dan tancap gas untuk langsung ke rumahnya menghadap orang tuanya dan minta ia jadi istriku. Saat itu dia sedang asyik  mengikuti pelajaran di sekolah dan tidak tahu aku akan pergi ke rumahnya. Setelah browsing alamat rumahnya dengan bertanya ke tetangganya. Saat dhuhur waktu setempat, kuberanikan diri ke tempat kejadian perkara (TKP). Dengan memakai  baju polos warna hijau kesukaanku dan celana hitam beserta sepatu kulit yang belakangnya sudah rusak dan tas dipundak, kuberanikan diri melangkah dengan harap cemas.

Punggungku bayah kuyup akan keringat yang tak mau berhenti mengucur mengantar niat suciku kepada calon mertuaku. Dengan jantung berdetak keras dan kalimat terbata-bata kusampaikan niatku kepada calon mertuaku yang bernama bapak Umar. Beliau kaget dengan kedatanganku, lebih-lebih keberanianku mengutarakan proposal suciku. Dan istri saya pernah bercerita bahwa, Bapak Umar kaget dan takjub dengan keberanian anak laki-laki yang jauh dari kata sederhana ini untuk minta anak putri kesayangannya. Mengingat keluarga bapak Umar sangat terpandang di kampungnya, sebagai pedagang Ikan yang sukses dan terkenal akan kedermawanannya. 

Jurus yang kupakai untuk menaklukkan hati beliau adalah munajatnya Anu Nawas, yang sering dibaca di Mushola tiap malam jum’at. Yaitu bacaan Ilahi Lastulil Firdausi , yang artinya kurang lebih sepeti ini. “Ya Tuhanku aku bukan tipikal manusia yang layak masuk surga Firdaus-Mu, tapi kalau aku dimasukkan ke neraka Jahannam-Mu sayapun tidak kuat, gusti”. 

Inilah jurus yang kupakai untuk menaklukkan hati bapak Umar. Aku katakana pada beliau, Pak saya ke sini punya niat yang suci nan tulus. Saya bukan orang yang penuh dengan kelebihan rupa, pangkat, harta dan nasab. Tapi saya memiliki niat yang bersih nan suci untuk menjadikan anak bapak menjadi istri dan ibu anak-anak saya. Namun jika, keinginan ini ditolak, saya tak tahu kemana saya akan mengadu. Melihat ketulusan saya dan wajah “memelas saya”, akhirnya beliau mengatakan, bahwa dirinya tidak menolak dan belum mengiayakan, karena harus musyawarah dulu dengan keluarga besarnya. 

Walaupun belum ada keputusan pasti dari beliau, aku pamit pulang keluar dari ruang tamu, laksana kesatria Bima putra Pandu yang barusan mengalahkan musuhnya di Padang Kuru seta. O, iya waktu itu beliau Tanya. Mas, hari kelahiran (weton) pyn apa?. Maka aku jawab saya tidak tahu dan mengenal istilah weton. Nanti kalau saya pulang akan saya tanyakan ke ibu saya jawabku.

 

Dah singkat cerita, setelah lamaran (khidbah), kami menikah pada hari selasa, tanggal 17 september 2002, atau bertepatan dengan 10 Rajab 1423 H, dengan mahar uang 500.000,-. Alkham dulilah tidak sampai setahun dikaruniani anak laki-laki, yang kami beri nama nama Dzul Fahmi Azizy, pada ahad wage, tanggal 22 Juni 2003. Disusul anak kedua kami, yang bernama Raihanatuz Zuhriyah yang lahir 23052007. Namun sesuai dengan takdir Allah, dia meninggal saat berada dalam kandungan (anak bacut). Dan kondisi ini sangat memukul psikologis istri saya. Karena menikah di usia yang masih muda, ditambah jauh dari kasih sayang keluarga menambah drop kejiwaannya. Sehingga kuputuskan sesegera mungkin untuk menambah momongan. Alkhamdulilah lahirlah anak ketiga kami, Salwa Nur Azizah yang lahir jum’at pahing tanggal 09 Mei 2008. Dan lahirlah anak keempat Nafisah Az Zahra, pada hari jum’at pahing tanggal 18 Mei 2012, disusul anak kelima, Aisyah Farah Adiba, Sabtu pahing, tanggal 09 Nopember 2013.

Cobaan dan Ujian Berdatangan..

Di awal Ramadhan tahun 2009 (sekitar bulan juni), kuajak istri dan kedua anakku ke masjid al abror untuk mengikuti pengajian sore menjelang berbuka puasa. Fahmi, anak sulungku mungkin sekitar 7 tahun usianya, sedangkan salwa masih 2 tahun. Waktu itu yang menyampaikan pengajian adalah Ust Muhaimin Syah, salah satu santri senior dari PP Al Muhibbin Tambak beras Jombang, yang diasuh oleh KH Moh Djamaludin Ahmad. 

Dengan perasaan bahagia dan bangga bisa menghadiri pengajian bersama keluarga. Ustad Muhaimin disela-sela pembahasan kajian kitabnya bercerita tentang nikah sirri (pernikahan tanpa tercatat dan tertulis di kantor KUA) yang marak dilakukan mahasiswa untuk menghindari perzinaan.

 Tiba-tiba terdengar suara brak, bersamaan itu ada seorang perempuan peserta pengajian yang datang berlari kecil ke dampar ustad dan memohon agar materi tentang nikah sirri dihentikan, karena di tak kuat mendengarkannya dan menangis sejadi-jadinya membayangkan suaminya yang melakukannya. Semua mata peserta pengajian terbelalak, termasuk saya sendiri. Ternyata perempuan yang menangis di hadapan semua peserta pengajian tak lain dan tak bukan adalah istri saya sendiri. Kontan saja seisi masjid gempar dan tak percaya dengan apa yang terjadi. Malu, kecewa bercampur marah, tak bisa kututupi. Akhirnya aku ke depan dan kuraih tangan istriku untuk saya ajak pulang ke rumah mertua untuk menenangkannya dan menayakan apa sebenarnya yang terjadi. 

Itulah awal dari kegoncagan jiwa istri saya. Semua keluarga besar mertua datang dan menjenguk, sambil ingin melihat apa yang terjadi pada Zenni, istri saya. Nasehat, arahan dan doa-doa dipanjatkan untuk menenangkan psikologisnya. Istri saya sering ketakutan berlebihan seakan-akan melihat sesuatu yang menakutkan dan mengancam keselamatannya. Sehingga hampir seminggu matanya tidak bisa tidur, sehingga kondisi fisiknya drop. 

Ada catatan menarik di tahun 2010. Setelah menunaikan haji di akhir tahun 2009, tiga bulan berikutnya bapak mertuaku H. Umar bin Kasemin meninggal dalam kecelakaan di depan Kapolsek Perak Jombang. Jadi beliau mengetahui istri sakit pertama kali, saat belum berangkat haji. Semoga Allah mengampuni dosa dan memberikan rahmatnya kepada almarhum H. umar. Amin YRA.

Akhirnya saran mertua, agar diobati dengan cara mendatangkan ahli spiritual. Beberapi kali mengundang kyai dari Tronyok yang kebetulan masih family, Kiai Ikhwan Maksum namanya. Beliau mengajak jamaahnya untuk berdoa bagi kesembuhan istri saya. Selain itu juga ada sosok ahli pengobatan spiritual, yaitu Ibu Halimah, yang tidak lain adalah istri dari temanku mengajar di MAU Darul Ulum Peterongan, yaitu Pak Suhaeri Zuhri. Berobat pula ke ke Mbah Maskun di Tulungagung.

Selain pengobatan spiritual, mertua saya menyuruh saya, untuk berobat secara medis ke dokter jiwa yang menjadi tempat konsultasi mertua saya, yaitu dr. Muhaeni yang membuka praktek di belakang RSUD Kab Jombang. Oleh beliau kami diberi saran dan nasehat agar selalu berfikir positif dan realistis. Beliau mengatakan bahwa jika istri sakit, maka harus diobati. Salah satunya adalah dengan obat. Tidak usah terjebak akan ketakutan kena guna-guna, atau yang lain yang sifatnya metafisika. Setelah didiagnosa, maka diberi nasehat agar sabar. Ajak komunikasi dan hindari topik-topik pembicaraan yang memancing dirinya untuk marah. Selain itu agar mengikuti petunjuk untuk mengkonsumsi obat. Jneis obat yang selalu kuingat adalah mengkonsumsi obat tidur dosis tinggi, agar bisa istrirahat, guna mengendorkan dan merelaksasi syaraf yang bekerja terlalu keras.

Jujur saja sekarang ini aku belajar menjadi seorang “Psikolog karbitan” dan “dukun dadakan” untuk terus mendiagnosa apa penyebab gangguan psikologis istri saya dan mencari solusinya. Selanjutnya kulakukan analisa-analisa penyebab dari sakit istri saya yang sering kambuh. Hipotesa satu terbentuk dan diganti dengan hipotesa selanjutnya. Sintesa terbentuk dan seiriing waktu lahirlah antitesa. Dari antitesa melahirkan sintesa dan terus bergulir seiring dengan perjalanan waktu. Diriku saat ini seperti seorang ilmuwan, yang intens mengkaji suatu penelitian demi kebahagiaan keluargaku.

Hipotesa awal, ada yang memberikan guna-guna atau tenun dan merasuki tubuh istri saya. Seiring dengan waktu hipotesa awal tak terbukti. Dugaan ini tak terbukti, manakala mbah Abu, kakekku, sekaligus guru spiritualku, mengatakan tidak ada yang merasuki tubuhnya. 

Hipotesa kedua adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang, akibat diriku yang egois untuk menjadi seorang tokoh agama di kampungku. Setelah mengajar pagi harinya di sekolah formal, ba’da ashar teras rumahku sudah penuh dan ramai kedatangan santri yang belajar mengaji Iqro dan alquran di TPQ kami. Sehingga keluarga besar Cangkring menyarankan agar lebih berkonsentrasi pada keluarga dari pada orang lain.

Sampai saya mendengar teguran yang keras dari bapak saya yang berbicara di ruang tamu di hadapan emak saya dan sampai saat ini tak terlupakan. ”Zin awakmu iku ibarate gledekan, seng ban sisie wes mbledos. Lek ngandel aku, ojo mbok terusno karepmu iku, bojomu gak kuat”. Aku diam tak bersuara dan kujawab inggih sambil menundukkan mata. Karena orang yang berbicara adalah orang yang peduli dan sayang dengan diri dan keluargaku, walaupun sering intonasi dan vibrasi suaranya lumayan “menyengat”. Setelah itu, hobbyku seperti berziarah di makam-makam keramat kuhentikan sementara. Kegiatan TPQ di rumah juga berhenti sampai waktu yang tak diketahui.

Seiring dengan waktu, istriku kambuh lagi. Bedanya dengan yang sebelumnya adalah kalau sebelumnya adalah tentang metafisika, perhatian dan kasih sayang. Saat ini topiknya adalah kecemburuan dengan perempuan-perempuan yang berada disekitar aktifitas bekerja. Mulai dari sosok wanita yang bernama bu Nikmah. Yang saat itu menjadi TU di MTS Al Anwar, yang kebetulan saat itu aku ditunjuk sebagai Kepala MTS-nya. 

Maka terjadilah kehebohan di kampong kami. Bahwa sakitnya istri saya diduga ada “perselingkuhan” di antara kami. Kebetulan waktu itu bu Nikmah masih belum berkeluarga dan rumahnya sama-sama satu kelurahan, yaitu desa Cangkringrandu. Dan topik ini yang paling lama, menjadi penyebab kambuhnya gangguan psikologis istri saya. Tiga tahun lebih mungkin, karena topik ini bermula saat saya pendirian MTS Al Anwar dan saya jadi kepala MTS nya pada tahun 2010 dan berakhir dengan pendirian MA Al Anwar tahun 2013.

Hipotesa ketiga, adalah sakitnya istriku akibat kecemburuannya terhadap keberadaan Bu Nikmah sebagai guru dan TU di MTS Al Anwar. Akhirnya demi menyelamatkan keutuhan keluarga, khususnya kesehatan istri, saya mengajukan diri untuk mundur, dan digantikan pak Thoyyib sebagai kepala MA Al Anwar. Namun saya tak berani menghadap Kyai Jamaludin Ahmad sampai sekarang untuk menyampaikan alasan mundur saya. Tapi saya yakin beliau faham dengan kondisi keluarga kami. Ditambah lagi ada kewajiban absen dengan jari (finger print) di PPAI Peterongan tiap hari sebanyak dua kali pagi dan menjelang sore, sehingga tidak memungkinkan saya mengabdi di Al Anwar.

Alkhamdulilah, pada tanggal 18 April 2015, di mana kondisi istriku yang masih labil kejiwaannya berhasil menyelenggarakan hajatan sederhana mengkhitankan anak sulung kami, Dzul Fahmi. Hajatan ini mendadak tidak ada persiapan sama sekali, karena semua energi dan perhatian focus pada usaha mengobati kejiwaan istri. Tiba-tiba Fahmi mengatakan bahwa dirinya berani dikhitan, bersamaan dengan pelaksanaan ujian Nasional (UN) di MI Al Anwar. Dia mengikuti UN sambil memakai sarung dan sempat ditegur gurunya karena khitan bersamaan dengan UN. Dan saya sempat marah mendengar cerita ini, sempat mendatangi  Madrasah untuk komplain.

Berobat ke Mbah Maskun Tulungagung

Cerita awal berobat ke mbah Maskun di Tulungagung, adalah saat menjadi kepala MTS Al Anwar saya bertemu Gus Idris, putra Kyai Djamaludin Ahmad. Beliau menyarankan agar selain pengobatan Medis, juga pengobatan spiritual. Dan kebetulan untuk urusan spiritual Keluarga Besar Kyai Jamal diserahkan ke mbah Maskun yang rumahnya di  Tulungagung. Beliau adalah murid dari Mursyid Syadziliyah Peta Tulungagung, Kiai Abdul Jalil Mustakim, guru dari KH Moh.Djamaludin Ahmad Tambak Beras.Kemudian saya disuruh koordinasi dengan gus Syaiful teknis di lapangan. Oleh Gus Syaiful saya bersama keluarga didampingi santri beliau Ust Syaiful Alim meluncur berobat ke Mbah Maskun.

Di sana kami ditanya, apakah ada keluarga yang pernah punya riwayat seperti itu. Saya tidak berani menjawab, dan Mas Andik menjawab inggh, wonten, yaitu ibu. (Ibu Mertua saya). Suatu hari mas Andik cerita, bahwa saat ekonomi keluarga Cangkring belum mapan. Ibu ke pergi Jakarta didampingi anaknya (mbak Wiwik) naik kereta api menemui adiknya yang sukses (Bulek Sri Iswari) untuk pinjam uang. Dan sepulang dari sana, dalam perjalanan pulang dalam bis mengalami “gangguan kejiwaan” dan pulang diantar oleh kernet bis ke rumah lewat belakang rumah. Dan saya selama saya tinggal di Cangkring, pernah melihat sendiri ibu mertua kambuh sakit jiwanya, namun tak lama (2 harian) sudah kembali sehat.

Di sana kami diberi garam yang sudah di asmai dan dimasukkan dalam amplop. Diberi ijazah agar mengambil air dari tempat wudhu masjid. Di ambil 7 wadah aqua dan tiap wadah dibacakan bacaan alam taro sampai akhir sebanyak 7 kali sebanyak tujuh masjid. Saya masih ingat mencari masjid bersama ust syaiful Alim dari Masjid daerah  Pagu Kediri sampai Masjid Tunggorono Jombang.  

Jujur saja hati saya kesal dan tak habis fikir. Saya yang dididik hampir lima tahun kuliah di Malang, dengan pemikiran yang serba ilmiah, hari ini dihadapkan dengan aktivitas yang diluar nalar dan “seperti orang tak waras”. Ke tempat wudlu bukannya berwudlu untuk sholat, e malah komat-kamit membaca mantra seperti dukun. Malu rasanya hati ini, ketika ditanya Takmir masjid sedang apa di tempat wudlu, kok komat-kamit membaca mantra?. Saya jawab disuruh guru mengambil air wudhu untuk pengobatan. Dalam hati saya, kalau tidak untuk pengobatan istri saya dan keutuhan keluarga, ampun deh.

Dari dhuhur sampai adzan isya’ berkumandang, baru lengkap dapat 7 masjid. Kami langsung pulang, dan sesuai dengan perintah mbah Maskun, air yang kami dapatkan dicampur dengan garam tadi dan dimasukkan 7 buah lembar daun sirih yang ketemu ros (ruas daun). Air yang sudah bercampur, sebagian diminum dan sebagian lagi ditambah air untuk dibuat mandi dari ujung rambut sampai kaki.

Bagaimana, khasiatnya?. Ini yang pasti ditunggu. Akhirnya saya sadar dan faham, bahwa pengobatan seperti ini, baik pengobatan medis oleh dokter spesialis jiwa dan spiritual yang sudah kami lakukan “BUTUH KESABARAN EKSTRA”. Setelah ritual kami lakukan sesuai petunjuk mbah Maskun, sehari, dua hari belum tampak hasilnya. Dan mungkin perubahannya seminggu sesudahnya dan itupun tidak serta merta. Dan setelah itu ada ritual menyembelih ayam putih mulus seingat saya sebagai penutup.

Inilah salah satu alasan saya “agak malas” dan enggan mengantar istri saya berobat baik medis maupun spiritual. Karena menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran serta biaya yang tak sedikit. Ditambah lagi hubungan kami dengan keluarga Cangkring “kurang harmonis”. Sehingga saat ini saya lebih focus mencoba sebisa mungkin mendiagnosa gangguan kejiwaan istri dengan pendekatan “PSIKOLOGIS”. Walaupun cara ini kurang memuaskan, terutama buat orang tua kami, khususnya dari keluarga Cangkring.

Seiring waktu keadaan mulai membaik. Tepatnya tanggal 10 Februari 2018 kami bersama istri dan kedua anak saya Nafisah dan Adiba ikut wisata yang diadakan oleh RA Al hidayah sebagai program wisata akhir pembelajaran bersama guru RA dan wali murid. Dalam benak kami, ini waktu yang tepat untuk merubah sosok mujazin yang “religius” menjadi manusia pada umumnya. Biar tidak melulu ziarah yang lekat dengan “patokan maesan” dan agak serem. Benar-benar kami nikmati acara wisata ke Bukit Dhaha Indah (BDI) Kediri dengan bercanda, bercengkrama, foto dan lainnya untuk menghilangkan kebosanan akan rutinitas. 

Tak kami sangka besoknya kulihat istriku mengalami lagi gangguan psikologis lagi. Berbicara dan bertindak memang sesuai fakta dan logika, namun meletakkanya di tempat dan suasana yang salah. Sehingga timbul kejanggalan dan ketidaknyamanan. Walaupun intensitas  dan dampak gangguan psikologis ini jauh berkurang dibandingkan sakit-sakit sebelumnya. 

O, Iya kalau saya analisa mengapa ini terjadi. Memang istri saya kurang begitu suka dengan guruguru RA. Karena saya ditunjuk sebagai sekretaris yayasan RA tidak berhasil memasukkan dirinya menjadi guru RA Al Hidayah yang letaknya di samping rumah saya. Sedangkan yang menjadi guru RA saat ini, termasuk kepalanya dulunya bisa dikatakan staff saya saat mendirikan TPQ di Mushola Al Hidayah, depan RA. 

Sebenarnya saya punya hipotesa keempat, bahwa sakitnya istri saya akan hilang, manakala dia punya aktifitas, sehingga kubelikan mesin jahit, kuijinkan mendaftar kuliah di IAIBAFA. Walaupun anak saya yang keempat, Adiba masih 3 tahunan dan harus lebih mendapatkan kasih sayang. Waktu itu ada program beasiswa sebanyak 30 mahasiwa dari provinsi Jatim untuk guru MADIN. 

 

Dan istriku diterima tanpa tes baca kitab kuning. Dan tidak usah ditanyakan kenapa bisa diterima. Jawabannya pasti adanya campur tangan keluarga Kyai Jamal, melalui gus Syaiful untuk membantu saya yang telah mengabdikan diri dalam mengawal pendirian MTS dan MA al Anwar. Dua tahun dia kuliah, walaupun tidak setiap hari, lebih tepatnya sabtu dan minggu dhuhur sampai ashar. Seiring dengan waktu dijalaninya perkuliahan sampai program PPL dan pengajuan proposal skripsi. 

Tiba-tiba saat saya ngajar di MAU Rejoso Peterongan, saya di telpon Gus Maksum menantu Gus

Rofi’ (Alm) Pagerwojo Perak, selaku Ketua Jurusan program Bahasa Arab bahwa Ibu Zenni Retnowati “dikeluarkan” karena sering membuat “ketidaknyamanan” di program perkuliahan. Dan demi kebaikan bersama terpaksa keputusan ini dibuat, kata beliau. 

Woow, bisa dibayangkan rasanya seperti apa rasa yang ada di dada dan kepala. Kutitipkan istri tercinta kepada orang-orang yang kukenal baik sebelumnya. Dengan harapan merubah keadaan istri saya dari tidak punya kegiatan agar punya aktifitas yang nantinya kalau punya ijazah S-1 bisa menjadi guru RA sesuai yang diinginkan. Ternyata kenyataan benar-benar berubah 180 derajat dari rencana awal. Harga diri dan semua reputasi yang kubangun seakan akan hancur berkeping-keping menjadi puing-puing berserakan tak berbentuk. Akhirnya kuputuskan dan kukatakan pada istri saya untuk berhenti kuliah titik.

Istri saya kalau marah, tak jarang menyalahkan saya, bahwa sayalah yang menyebabkan dia berhenti kuliah, padahal dia tak tahu cerita yang sebenarnya. Dan walaupun aku ceritakan kondisi yang sebenarnya dia akan marah, tak nyambung dan tak mau tahu. So..belajar mencari pahala sabar, ha..ha.

Hipotesa kelima, setelah melewati banyak peristiwa adalah, orang ganteng kayak saya ini membuat istri saya cinta banget sehingga cemburu poll tatkala ada wanita-wanita di sekitar kami, yang menyebabkan penyakit “keruwetan dalam berfikir” kambuh. Sehingga saya harus pandai dan cerdas menghadapi dirinya. Termasuk jurus “berbohong demi kebaikan bersama” dan tidak melibatkannya dalam diskusi dan pembicaraan permasalahan “yang bukan kelasnya”.

Kondisi ini masih berlangsung sampai sekarang (cerita ini ditulis), tapi kami berusaha sabar dan mensyukuri keadaan saat ini jika dibandingkan dengan kondisi yang sebelum-sebelumnya. Dan kalau dihitung hitung istriku sakit yang terakhir ini hampir dua tahun.

Walaupun belum sembuh seratus persen, kami tetap bersyukur dan berusaha menumbuhkan sifat ridho akan takdir ini. Pernah kukatakan pada diriku sendiri dan orang tua di Genjong. Alkhamdulilah istri saya kondisinya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Dia bisa melayani kebutuhan saya, menjaga dan merawat anak-anak saya, sehingga saya bisa bekerja dengan tenang itu sudah membuat saya bersyukur, walaupun belum seratus persen. 

Alkhamdulilah orang tua pelan-pelan bisa memahami kondisi keluarga kami, walaupun juga menyarankan tetap untuk dilakukan pengobatan. Alasannya agar tidak dituntut keluarga Cangkring dan mengingat anak-anak sudah besar, agar tidak malu melihat kondisi mental ibunya.

Di awal tahun 2019, kondisi psikologis istri membaik dan muncul keinginan ngajar ngaji lagi, yang sempat berhenti 3 tahun lebih. Akhirnya kami putuskan mbuka ngaji lagi, tapi hanya setelah magrib sampai menjelang isya’. Saat ini jumlah santrinya 7 anak, itupun dengan dua anak saya sendiri. Dan istri saya juga ikut membantu mengajar ngaji tiap harinya, katanya selain untuk mengisi kesibukan juga mengamalkan ilmunya. Aku sih, welcome, yang penting baik-baik saja. 

Oh, Iya di pertengahan tahun 2019 ini, kalau ditanya apa topik kemarahan istri. Jawabannya adalah banyaknya janda-janda di sekitar rumah kami. Mulai dari janda reot, paruh baya sampai muda, ha... ha. Lebih-lebih tepat di depan rumah saya sekarang di huni oleh Janda paruh baya bu Eni namanya.

Nama-namanya sering disebut istri saya, kalau sedang marah dan cemburu. Fahamkan maksud saya, he.

. he.

Suatu ketika kalau saya Tanya kenapa sih berfikir negative seperti itu, yang pada akhirnya merugikan diri sendiri. Dijawabnya sambil emosional “bahwa kejadian yang dialami Mbak Wiwik dan Mas To (Alm), kakaknya tidak ingin terjadi pada dirinya. Cerita bahwa Mbah Abu pernah poligami juga sering diungkit. Ditambah lagi banyaknya cerita kawin cerai, perselingkuhan dan poligami di kampung kami membuat ketakutan pada istri saya. Sehingga saya sebagai suami diperlakukan hiper protektif. Aduh, aduh orang lain yang berbuat, suaminya jadi sasaran ketakutannya. Inilah namanya cinta buta yang melahirkan kecemburuan buta atau sebaliknya. Aduh jadi ngrasani si Buta dari gua hantu akhirnya, ha..ha..ha.

Dah sampai di sini cerita ini kami tulis. Kami tulis salah satunya jadi pengangguran di tengah Pandemi COVID-19. Dan yang selalu melecut semangat saya untuk menulis atobiografi saya yang “jauh dari sempurna” adalah kalimat dari adik Syamsul hadi. “Cak janganlah kau asyik dan sibuk membaca dan mengagumi biografi orang lain, tapi buatlah biografi dirimu sendiri”. Saya jawab insya allah dan siap. Dan ini juga menjadi bentuk “pertanggung jawaban kecil” saya kepada keluarga besar Genjong tercinta atas semua yang dialami oleh anak sulung “si JAZIN”. Doa dan motivasi selalu kami harapkan untuk perjalanan dan keselamatan kami sekeluarga.

 

Cangkring, Ahad Pon 17 Januari 2021, menjelang Maghrib

 

 

Label: