<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6771073194521873950\x26blogName\x3dMenyusuri\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dLIGHT\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://menyusuri.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://menyusuri.blogspot.com/\x26vt\x3d8888761552046595480', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Dilema: UN VS Moral

Diposkan oleh : Admin   Senin, 22 April 2013 0 comments

     Cerita ini diawali dari cerita teman guru, Pak Budi. Pada waktu itu beliau menceritakan mengenai putranya yang duduk di kelas 6 SD, Fira. Fira adalah seorang siswi SD yang kerap juara 1 di kelasnya. Dan dia tergolong anak yang cerdas, hal ini dibuktikan dengan nilai ulangan hariannya yang kerap dapat 'hampir' 100.
     Pada suatu ketika, sepulang sekolah, Fira dengan keluguannya sebagai seorang anak SD, menangis dan mengadu ke bapaknya.
     "Yah, gak berguna aku belajar selama ini, lha gimana.... teman-teman yang mengerjakan soal UN tadi dikasih lembaran kecil sama pak guru yang berisikan lengkap jawaban soal matematika" sambil menangis kepada ayahnya.
     "Ya gak gitu fir. Biarlah yang lain seperti itu, mereka takkan bangga dengan nilai hasil contekan itu. Tetapi kalau sampean mengerjakan sendiri khan bangga. Hasil dari pemikiran sendiri. Fira gak boleh menyerah dan jangan putus asa" ujar Pak Budi untuk membesarkan hati anaknya yang merasa dikhianati oleh gurunya. Yang notabene, beliau (red. guru-guru) selalu dihormati dan dikaguminya. Bahkan tugas dari guru selalu dia kerjakan dan malahan sering mengutamakan perintah guru daripada orang tuanya sendiri.

Yahhh....
     Yah... begitulah fakta yang ada. guru dengan dilematikanya membuat sebuah keputusan yang terkadang di'maknai' oleh siswa didiknya sebagai suatu tindakan yang menyedihkan. Guru tak bisa berbuat banyak dalam kondisi ini. Antara idealis dan tuntutan 'prestise' sekolah adalah buah simalakama yang harus mereka telan tiap kali tahun ajaran berakhir.
      Benang merah yang ingin saya tarik adalah setiap anak yang belajar di Indonesia Raya tercinta pasti akan melewati proses kelulusan yang dinamakan dengan UN. Dan banyak diantara mereka  merasakan apa yang 'Fira' rasakan. Di sekitar usia 12 tahun, seluruh siswa siswi SD di seluruh Indonesia Raya diajari 'kecurangan massal' oleh sosok yang selalu mereka kagumi dan mereka teladani. Sebuah batu pondasi nilai yang buruk pertama kali kita tanpa sadar tancapkan pada kepala siswa siswi yang masih polos dan lugu untuk pertama kalinya. Dan hal ini akan berulang untuk 3 tahun selanjutnya ketika mereka di SMP dan seterusnya.
     Praktik penyimpangan nilai yang dilihat langsung oleh siswa siswi tersebut oleh guru tercinta mereka akan menjadi warna pemikiran 'nakal' mereka untuk kehidupan moral anak bangsa. Jika pada waktu itu mereka masih kecil, kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa 30 tahun yang akan datang 'fira-fira' di seluruh indonesia mungkin sudah menjadi kepala sekolah, dokter, camat, pegawai bank dan beberapa posisi yang mungkin menentukan kebijakan bangsa di masa yang akan datang. Peluang mereka menjadi sosok Nazarudin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Gayus di masa yang akan datang akan mejadi lebar jika kita tidak menghentikan 'pen-dogma-an' nilai yang salah kala mereka kecil.
     Sebuah renungan untuk kita semua...

Label: , , ,


0 Comments:

Posting Komentar

<< Home